Sudah sejak lama saya bercita-cita menulis buku. Baik fiksi maupun non fiksi. Saya pun seringkali menuliskan cerita-cerita singkat yang saya taruh dalam folder tersembunyi di netbook saya. Saya tidak memiliki cukup keberanian untuk meminta orang lain untuk membacanya, apalagi menerbitkannya! Rasanya saya belum pantas. Apa yang saya tuliskan masih mentah, kacau, bahkan plotnya tidak jelas. Saya pernah berjanji kepada dosen pembimbing saya untuk menjadi seorang penulis cerita fiksi, yang ditanggapi dengan terkejut olehnya. Tapi beliau tetap mendukung dengan melihat potensi di balik hasil tulisan ilmiah saya. Saat itu sebetulnya saya hanya asal ucap karena menghadapi pertanyaan mengenai masa depan saya. Tetapi saat ini saya berpikir bahwa seandainya saya betul-betul serius saat itu, apakah saya menjadi seperti saya yang sekarang ini?
Saya memiliki dua orang teman yang bekerja sebagai editor di penerbitan yang berbeda. Mereka, saya duga, tidak saling kenal. Bergaul dengan mereka saya rasa cukup unik. Dua-duanya punya cara pandang yang menarik terhadap suatu hal, rasa bahasa yang “luar biasa”, dan wawasan luas mengenai segala hal. Keduanya pun punya sikap hidup yang unik. Mereka menghargai seni dan sangat individualist. Yang satu nampak kurang berhasil dalam cinta, yang satu lagi (syukurlah) baru saja menikah dengan adik angkatan di almamaternya.
Melihat mereka berdua, saya jadi berpikir, jika menjadi penulis nanti apakah saya akan menjadi seperti mereka? Saya ingin seperti mereka, sekaligus tidak ingin menjadi seperti mereka. Ah, mungkin saya hanya iri melihat betapa bebasnya mereka menentukan cara hidup masing-masing, dengan keberanian mereka dalam bertindak atau memutuskan sesuatu pada risiko tertentu. Sementara saya sendiri adalah orang yang terbiasa harus menuruti kehendak ibu. Sejak kecil saya tidak benar-benar memutuskan. Sampai akhirnya saya kuliah dan harus memutuskan sendiri jurusan apa yang akan saya ambil untuk masa depan saya. Saya pernah menyesali keputusan saya, namun saya tetap menjalani profesi yang saya tekuni sampai hari ini.
Sejak sma, saya dihadapkan pada kenyataan kalau kedua ortu saya bukanlah orang yang mampu secara finansial untuk membiayai sekolah keenam anaknya hingga tamat perguruan tinggi. Saya mulai berpikir tentang uang dan uang. Mulai bagaimana saya mendapatkannya sebanyak mungkin sampai bagaimana rencana saya menghabiskannya kelak. Kemudian saya terpaksa harus berhenti mengejar cita-cita saya menjadi dokter, karena profesi ini menghabiskan biaya banyak dalam proses pendidikannya. Saya juga melupakan niat saya untuk menjadi penulis karena saya merasa profesi ini tidak dapat segera menghasilkan uang banyak. Pada akhirnya saya memilih profesi yang saya tekuni hingga saat ini, walau ternyata tetap saja sulit menghasilkan uang sebanyak yang saya pikirkan.
Namun profesi ini membuat saya mengerti karakter manusia. Ini membangkitkan keinginan saya untuk menulis lagi dan menciptakan tokoh-tokoh yang saya inginkan.
Mampukah saya menulis lagi?
Tawaran untuk menulis lagi sudah datang. Tidak tanggung-tanggung, dari dua teman editor yang saya kenal baik. Mereka pun percaya kalau saya mampu melakukannya. Kesempatan pun sudah ada. Sudah diberikan oleh Tuhan.
Tapi apakah saya mampu?
Itulah yang perlu saya buktikan. Kan?